Miskin Mulia, Kaya tak Jumawa

 


Kekayaan, Rezeki, dan Ujian Hidup dalam Pandangan Islam

    Seringkali kita terjebak dalam euforia kesuksesan—merasa hebat karena pencapaian, harta, jabatan, dan berbagai kenikmatan duniawi. Namun, sejatinya bukan karena kehebatan kita semua itu didapatkan. Kita harus sadar bahwa segala rezeki, keberhasilan, dan harta yang kita miliki datang semata-mata karena izin Allah SWT dan sedikit keuletan yang kita lakukan. Jangan sampai kita menjadi hamba yang kufur, merasa bahwa semua itu hasil dari usaha kita sendiri, dan melupakan Sang Pemberi Nikmat.

    Syukur adalah kunci utama dalam menjaga hati. Syukur memiliki tiga bentuk: pertama, syukur dengan hati yaitu meyakini sepenuh jiwa bahwa semua nikmat datang dari Allah SWT; kedua, syukur dengan lisan, dengan memperbanyak ucapan "Alhamdulillah" dalam setiap keadaan; dan ketiga, syukur dengan anggota badan, yaitu menggunakan nikmat yang diberikan Allah untuk kebaikan dan ketaatan kepada-Nya.

    Kita harus ingat, semua aktivitas dan nikmat yang kita terima akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah SWT. Harta, misalnya, akan ditanya dari mana ia diperoleh dan untuk apa ia digunakan. Apakah harta tersebut digunakan di jalan kebaikan atau sebaliknya?

    Menjadi kaya atau miskin bukan ukuran kemuliaan atau kehinaan. Keduanya adalah takdir dan hak prerogatif Allah SWT. Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Dunia ini adalah tempat ujian—lapangnya rezeki adalah ujian, sempitnya rezeki pun ujian. Bahkan kesenangan, pangkat, dan jabatan adalah bentuk ujian untuk melihat sejauh mana kita bersyukur atau lalai.

    Penyakit hati seperti hasad, iri, dengki, dan buruk sangka jauh lebih berbahaya dari sekadar kemiskinan. Solusinya adalah dengan melihat ke bawah, kepada mereka yang lebih sedikit rezekinya, bukan selalu melihat ke atas. Ini akan menumbuhkan rasa syukur dan menjauhkan hati dari keluh kesah.

    Perlu kita sadari juga bahwa kekayaan atau kemiskinan tidak serta-merta menjadi indikator ridha Allah. Bahkan, banyak dari penghuni surga adalah orang-orang yang miskin di dunia, namun kaya hati dan sabar. Kekayaan sejati bukan terletak pada materi, tapi pada hati yang penuh rasa syukur dan qana’ah.

    Islam sangat menganjurkan kita untuk bekerja dan mencari rezeki dengan cara yang halal. Namun, kesuksesan sejati bukan diukur dari seberapa besar harta yang dikumpulkan, tapi dari bagaimana kita menyikapi segala kondisi kehidupan dengan baik, baik dalam pandangan dunia maupun akhirat.

    Akhirnya, kita harus sadar bahwa kebahagiaan tidak ditentukan oleh seberapa banyak yang kita miliki, melainkan dari seberapa bersyukurnya kita atas apa yang telah Allah titipkan. Karena sesungguhnya, kekayaan yang paling bernilai adalah kekayaan hati.

Kajian Ust.Hanan Attaki - Masjid Al-Ukhuwah Bandung - 18 Oktober 2023

Comments

Popular posts from this blog

Perjuangan Skripsi: Dari Galau Hingga Cumlaude di Fikom Unisba

Kisah Syekh Badiuzzaman Said Nursi

Digital Marketing : Kata Junny